VOC, KORPORATOKRASI GLOBAL, DAN NEO-KOLONIALISME

31 08 2008

oleh:

Sejarah Kembali Berulang

Pada awal abad 17 Masehi, perjalanan mencari daerah jajahan telah dimulai oleh sebuah korporasi besar asal negeri Belanda. Korporasi pertama bernama VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie) melakukan penjelajahan mencari ladang bisnis baru bagi mereka. Pada tahun 1669 VOC telah menjelma menjadi korporasi raksasa dengan kekuatan militer terbesar yang memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, dan angakatan darat swasta sebesar 10.000 prajurit.1 Tepat berada di Nusantara, VOC ibarat menemukan surga dunia. Betapa tidak, Indonesia yang pada saat itu kaya akan rempah-rempah menjadi ‘primadona’ bagi negara-negara penjajah. Dengan dukungan militer serta kewenangan besar yang diberikan oleh pemerintah Belanda saat itu menjadikan VOC sebagai satu-satunya korporasi Eropa yang memiliki ‘mandat’ dari negara untuk melakukan ekspansi dalam rangka memperluas daerah jajahan.

Itulah awal mula petaka bagi penduduk pribumi Nusantara saat itu. VOC dengan arogansinya bukan hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tapi juga mengeksploitasi sumber daya manusia. Menjadikan rakyat jajahan sebagai tenaga kerja murah. Walhasil, karena diperlakukan dengan tidak manusiawi para penduduk pribumi pun melakukan perlawanan. Sehingga berlanjut dengan peperangan dua bangsa. Yang satu bertujuan ingin merampas dan merampok kekayaan alam, sedangkan sebagian yang lain berusaha mempertahankan apa yang menjadi hak milik mereka. Maka, kurun waktu 3,5 abad Nusantara diwarnai dengan peperangan fisik dari berbagai etnis dan suku untuk melawan satu musuh bersama yaitu VOC – Belanda.

VOC yang didirikan pada tahun 1602 dengan kekuatan militernya telah berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan strategis saat itu.2 Sehingga menyebabkan perdagangan rakyat pribumi terhambat. Inilah awal mula kolonialisme masuk ke Indonesia, yaitu dengan melakukan liberalisasi misalnya dengan adanya sistem kerja upahan yang diperkenalkan oleh VOC serta kepemilikan tanah secara privat. Aset vital publik (tanah dan kekayaan alam lainnya) milik masyarakat pribumi pun diambil alih dengan paksa menjadi milik privat dan tentu dengan bantuan dan kerjasama dari golongan masyarakat kelas atas yang menjadi agen mereka. Setelah masa VOC ini berakhir ternyata praktik-praktik kolonialisme yang dicontohkan mereka terus menjelma dalam semangat penjajahan negara-negara pemenang Perang Dunia II yang kemudian mendirikan IMF dan World Bank yang sejatinya merupakan peralihan bentuk kolonialisme menjadi neo-kolonialisme dengan melakukan penjajahan struktural. Ternyata sejarah kembali berulang.


Munculnya Korporatokrasi Global dan Neo-Kolonialisme

Penduduk Indonesia yang hidup terus-menerus dalam penjajahan kolonial Belanda selama kurun waktu 3,5 abad dan 3,5 tahun dalam masa pendudukan tentara Jepang akhirnya memproklamirkan diri sebagai bangsa merdeka pada tahun 1945 setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Momen ini memberi semangat baru bagi rakyat Indonesia untuk membangun sebuah Negara yang berdaulat dan mandiri. Namun, fakta sejarah menunjukkan pasca kemerdekaan Negara ini ternyata tetap berada dalam cengkraman kolonialisme. Terjadinya intrik intelektuil internasional dalam tubuh pemerintahan Soekarno telah melemahkan rezim tersebut. Para pemimpin yang dekat dengan Barat saat itu, sukses merekayasa kemerdekaan RI dengan para pejabat Gedung Putih di Washington. Dengan membuka pintu masuk selebar-lebarnya bagi Amerika dalam kerjasama ekonomi yang sejatinya adalah upaya mereka (AS) untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Dua tokoh yang ‘sukses’ membawa Indonesia ke dalam cengkraman AS adalah Sudjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo.3 Mereka lah aristokrat handal yang menjadi abdi Washington dan dikenal sangat akrab dengan para ‘punggawa’ Gedung Putih. Sumitro yang pada era 1950-an menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia telah banyak mengirim mahasiswanya ke luar negeri melalui program bantuan beasiswa dari Ford Foundation dan berhasil mencetak aristokrat-aristokrat muda yang siap membawa misi Washington. Mereka lah “Team Istimewa” yang dibentuk AS untuk memuluskan agenda mereka atau yang lebih dikenal dengan “The Mafia Berkeley” (para sarjana lulusan Universitas Berkeley – Callifornia).4

Soekarno pun menyadari akan adanya intrik tersebut di dalam pemerintahannya dan juga mengetahui bagaimana ‘doktrin-doktrin’ ekonomi liberal yang ditancapkan ke dalam otak para mahasiswa Indonesia yang studi di Universitas Berkeley maupun di Universitas Harvard. Akan tetapi, dia (Seokarno) harus menerima hal itu jika tidak ingin bantuan pendidikan ditarik. Begitulah pemerintahan Soekarno terus digerogoti dari dalam, AS menginginkan agar Soekarno dilengserkan karena kedekatannya dengan Uni Soviet yang saat itu menjadi kiblatnya Sosialisme. Inilah awal mulanya Neo-Kolonialisme muncul dengan adanya kekuatan koalisi antara negara adidaya AS, Lembaga Keuangan Internasional (IMF & World Bank) dan Korporasi Internasional atau apa yang disebut oleh John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman (2004) sebagai Korporatokrasi.

Setelah Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto dengan skenario yang telah dirancang oleh asing semakin mengokohkan pengaruh Amerika di Indonesia. Gus Papanek (President Development Advisory Service di Harvard) mengatakan, “kita tidak dapat lagi menggambarkan skenario yang lebih ideal daripada apa yang telah terjadi. Orang-orang itu (para ekonom) begitu mudah masuk dalam pemerintahan dan mengambil alih pimpinan urusan-urusan ekonomi, dan mereka meminta kita untuk bekerja sama terus dengan mereka”. Keberhasilan para komprador asing untuk masuk dalam jajaran pemerintahan terlihat dari susunan Kabinet Pembangunan yang dibentuk oleh Jenderal Soeharto pada tahun 1968. Tercatat sederetan nama mereka seperti Sumitro Djojohadikusumo yang menduduki jabatan sebagai Menteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1961) sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Moh. Sadli (Master of Science dari MIT, 1956) ditunjuk sebagai Ketua Tim Penanaman Modal Asing, serta sejumlah nama lainnya yang berhasil menduduki posisi strategis baik dari alumni Berkeley maupun Harvard.5

Kehadiran Soeharto dan para agen yang membawa kepentingan asing dalam sejarah Indonesia telah menyebabkan negara ini jatuh ke dalam kubangan Kapitalisme Global. Proses liberalisasi yang terjadi sangat gencar dan radikal pada rezim orde baru ini. UU no. 3 tahun 1967 yang ditandatangani tentang utang warga Hindia Belanda, keanggotaan Indonesia dalam Bank Dunia, dan penanaman modal asing sangat lekat dengan penjajahan.6 Maka terbukalah akses seluas-luasnya bagi asing untuk memasukkan kepentingan mereka. Berbagai kontrak karya pun dilakukan pada masa orde baru termasuk Freeport di Papua yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran disana.

Sampai era 80-an Indonesia semakin terintegrasi dalam sistem perekonomian global. Pengaruh IMF di Indonesia semakin kuat. Bahkan ketika terjadi krisis financial di Asia tahun 1997-1998 termasuk Indonesia yang jatuh dalam petaka krisis tersebut, pemerintah saat itu justru menunjukkan kepercayaannya kepada IMF untuk menangani krisis di dalam negeri.7 Akhirnya pada tahun 1997 pemerintah menandatangani LoI (Letter of Intens) atau nota kesepakatan antara Indonesia dan IMF.7 Sejumlah persyaratan yang diajukan IMF kepada Indonesia termasuk diantaranya pengetatan anggaran, pencabutan subsidi, dan privatisasi aset public bukan malah mengeluarkan Indonesia dari krisis tapi justru semakin menjerumuskan Indonesia dalam jeratan dan pengawasan IMF. Padahal Malaysia yang saat itu berhasil keluar dari krisis justru karena menolak resep IMF. Bahkan negeri jiran tersebut mampu berekspansi ke luar negerinya untuk berinvestasi dan membeli aset-aset Indonesia yang di jual murah oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).8

Pergantian rezim dalam era reformasi justru tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi Indonesia. Indonesia terlanjur masuk dalam permainan dan intrik asing dan para kompradornya. Berbagai kepentingan rakyat dikorbankan. Terjadinya privatisasi terhadap sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dan bahkan prosesnya pun terkesan sangat ‘ugal-ugalan’. Sebagian besar BUMN yang potensial pun lepas ke tangan asing dan bahkan bisa jadi Pertamina dan PLN yang dinilai sangat vital dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan masih mencoba bertahan akan lepas ke tangan para investor asing.

Melepaskan diri dari cengkraman Neo-Kolonialisme

Setelah 63 tahun Negara ini merdeka ternyata masih belum lepas dari penjajahan. Dan bahkan untuk disebut sebagai sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, dan mandiri pun masih belum layak. Kolonialisme yang pada zaman pra kemerdekaan hanya merampas tanah dan bahan baku industri, tapi kini kolonialisme telah merampas seluruh kehidupan. Sudah sepatutnya sekarang kita melepaskan Negara ini dari genggaman Kapitalisme Global. Serta membersihkan pemerintahan dari para komprador-komprador asing yang menjadi abdi Washington. Tidak cukup hanya menghadirkan pemimpin yang jujur dan amanah, akan tetapi juga mengganti sistem dan ketatanegaraan yang sekuleristik-kapitalistik dengan sistem alternatif lain. slogan ganti rezim-ganti sistem sangat tepat untuk kita suarakan.

Sistem islam cukup layak untuk mengganti tatanan dan sistem yang ada sekarang. Dengan Islam kita memerdekakan diri dari seluruh pemikiran, sistem dan aturan kehidupan yang bukan berasal dari Islam. Secara Historis Islam telah membuktikan kemampuannya dalam mengatur kehidupan manusia. Islam juga tidak akan membiarkan dan bahkan melarang kaum muslim menjadikan orang-orang kafir (Barat) sebagai pemimpin dan pemelihara urusan mereka, apalagi merelakan hak-hak mereka dirampas. Islam juga tidak akan menyerahkan juga melarang aset publik dimiliki individu, sehingga sektor publik (air, tambang, dan lainnya), industri dan perusahaan milik Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak akan tetap terjaga dengan dikelola oleh pemerintah secara amanah sehingga hasilnya pun dapat dinikmati rakyat.

Oleh karena itu, saat ini yang perlu terus kita lakukan adalah membongkar makar (konspirasi) para penguasa, menguak fakta-fakta yang rusak, kemudian menawarkan solusi yang paradigmatik dan bukanlah yang pragmatis. Aqidah Islam lah yang tepat menjadi landasan Negara ini dengan Syari’ah Islam yang menjadi sistem operasionalnya. Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.

Visit me: futuhat.co.cc

Daftar Pustaka:

1Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa – Selamatkan Indonesia, 2008, PPSK Press, hlm. 5

2Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 2007, Ar-Ruzz Media, hlm. 81

3David Ransom dalam laporan Ramparts, dikeluarkan oleh Koalisi Anti Utang (KAU) (2006) dengan judul Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, hlm. 26

4Ibid, hlm. 24

5Ibid, hlm. 60-61

6Revrisond Baswier (Waspadai Legalisasi Kolonialisme), Al-Wa’ie edisi Agustus 2008, , hlm. 25

7Tim Penulis CIReS, Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 2007, Marjin Kiri, hlm. 53-54

8Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, 2008, Ufuk Publishing House, hlm. 67


Aksi

Information

Satu tanggapan

15 08 2012
Aku gaptek

Bukan kapasitas manusia Indonesia melawan neokolonialisme,datanglah kalian kemari,dan ketahuilah,laki laki Indonesia siap mati atas nama anti penjajahan

Tinggalkan komentar